Pengarang
|
|
Negara
|
|
Bahasa
|
|
Genre
|
Novel
|
Penerbit
|
Poedjangga
Baroe
Dian Rakyat |
Tanggal terbit
|
1940
|
Jenis media
|
Cetak (kulit keras
& lunak)
|
Halaman
|
150 (cetakan ke-21)
|
979-523-048-8
(cetakan ke-21)
|
Dasar-dasar cerita Belenggu sudah wujud dalam dua cerpen yang ditulis Armijn sebelumnya, yaitu "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936). Novel yang dihasilkan, yang ditulis untuk mencerminkan aliran pikiran manusia dan dengan menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mewujudkan konflik batin, sangat berbeda daripada karya-karya sebelumnya. Dibanding karya sastra Indonesia sebelumnya, yang terbatas pada tema tradisional seperti "yang baik melawan yang jahat", Belenggu mengutamakan konflik psikis tokoh. Novel ini juga menunjukkan kalau sifat modern dan tradisional itu sebenarnya berlawanan.
Setelah diselesaikan, Belenggu ditawarkan kepada Balai Pustaka, penerbit resmi negara Hindia Belanda, pada tahun 1938. Namun, buku ini ditolak karena dianggap tidak bermoral. Novel ini kemudian diambil oleh Poedjangga Baroe. Pada awalnya, penerimaan Belenggu oleh masyarakat cukup beragam. Pihak yang mendukungnya beranggapan bahwa novel ini benar-benar mencerminkan konflik yang dihadapi para intelektual Indonesia, sementara yang menolak beranggapan bahwa novel ini porno karena memasukkan tokoh pelacur dan tema perselingkuhan. Tanggapan sekarang lebih positif, dengan penulis Muhammad Balfas menyebutnya "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan".[1] Belenggu sudah diterjemahan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris.
Sukartono (Tono), seorang dokter berpendidikan Belanda, dan istrinya Sumartini (Tini), yang tinggal di Batavia (sekarang Jakarta), sedang menjauh. Tono terlalu sibuk merawat pasien sehingga dia tidak punya waktu untuk bersama Tini. Akibatnya, Tini pun menjadi lebih aktif dengan kegiatan sosial, sehingga dia tidak mengurus rumah tangga. Hal ini membuat Tono semakin menjauh, sebab dia ingin Tini menjadi istri tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggu dia di rumah.
Suatu hari, Tono dipanggil oleh seseorang bernama Nyonya Eni, yang minta dirawat. Ketika Tono mendatanginya, dia menyadari bahwa Ny. Eni sebenarnya adalah Rohayah (Yah), temannya waktu masih kecil. Yah, yang sudah mencintai Tono sejak mereka masih di sekolah rakyat, mulai menggoda Tono sehingga dokter itu jatuh cinta. Mereka mulai bertemu secara diam-diam dan sering pergi ke pelabuhan Tanjung Priok. Ketika Tini pergi ke Surakarta untuk menghadiri kongres wanita, Tono mengambil langkah untuk hidup bersama Yah selama satu minggu.
Selama di rumah Yah, Tono dan Yah membahas masa lalu. Tono menjelaskan bahwa setelah tamat sekolah rakyat di Bandung, dia berpindah ke Surabaya dan belajar di sekolah kedokteran di sana. Dia menikah dengan Tini karena kecantikannya. Sementara, Yah dijodohkan dengan pria yang lebih tua dan berpindah ke Palembang. Setelah meninggalkan suami, dia pindah ke Batavia dan menjadi pelacur; selama tiga tahun dia menjadi simpanan pria Belanda. Melihat tingkah laku Yah yang sopan santun, Tono menjadi semakin cinta padanya karena beranggapan bahwa Yah adalah istri yang tepat untuknya. Namun, Yah merasa dirinya belum siap untuk menikah.
Tono, yang merupakan penggemar musik keroncong, diminta menjadi juri suatu lomba keroncong di Pasar Gambir. Di sana, dia bertemu dengan Hartono, seorang aktivis politik dan anggota Partindo, yang bertanya tentang istri dokter itu. Beberapa hari kemudian, Hartono mengunjungi rumah Tono dan bertemu dengan Tini. Ternyata Tini pernah menjalin hubungan dengan Hartono saat kuliah, sehingga mereka berhubungan seks; hal ini membuat Tini jengkel dengan dirinya sehingga tidak dapat mencintai laki-laki. Hartono pun semakin mengacaukan keadaan ketika dia memutuskan Tini dengan hanya meninggalkan sepucuk surat. Ketika Hartono minta agar dapat kembali bersama Tini, Tini menolak.
Setelah mengetahui bahwa Tono selingkuh, Tini menjadi sangat marah dan pergi untuk berbincang dengan Yah. Namun, setelah berbicara panjang dengan Yah, Tini mulai beranggapan bahwa Yah lebih cocok untuk Tono dan minta agar Yah segera menikahinya. Tini lalu berpindah ke Surabaya, dan Tono ditinggalkannya di Batavia. Namun, Yah merasa bahwa mempunyai hubungan dengan Tono akan membuat citra baik Tono hancur, sebab latar belakangnya yang pelacur itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk pindah ke Kaledonia Baru, dengan meninggalkan sepucuk surat dan sebuah piring hitam yang membuktikan bahwa Yah sebenarnya penyanyi favorit Tono, Siti Hajati. Dalam perjalanan ke Kaledonia Baru, Yah rindu pada Tono dan mendengar suaranya di radio. Tono ditinggal sendiri dan mulai bekerja sangat keras, dalam usaha untuk mengisi kesepiannya
.
Tokoh
Sukartono
Sukartono
Sukartono (disingkat Tono) adalah
seorang dokter yang merupakan suami Tini dan cinta
Yah. Dokter ini suka merawat pasien miskin tanpa memungut biaya, sehingga
menjadi terkenal. Dia juga penggemar berat lagu-lagu keroncong. Sewaktu dia
masih di sekolah kedokteran, dia lebih suka bernyanyi daripada belajar dan
sampai sekarang ada radio di ruang periksanya. Kegemarannya atas musik
tradisional mencerminkan keinginannya untuk mempunyai istri yang berwawasan
tradisional untuk menjaganya. Karena merasa tersiksa dari pernikahannya tanpa
cinta dengan Tini, dia jatuh hati pada Yah, sebab Yah dianggap lebih mampu
menjadi istri tradisional. Namun, akhirnya dia ditinggal sendiri.[2]
Sumartini
Sumartini (disingkat Tini) adalah istri
Tono yang sangat modern. Waktu masih mahasiswi, dia sangat populer dan suka
berpesta. Pada masa itu, Tini menyerahkan keperawanannya kepada Hartono,
sehingga setelah dia diputuskan dia menjadi semakin tidak acuh pada keinginan
laki-laki. Setelah dinikahi Tono, Tini menjadi semakin kesepian dan mulai
bergerak di bidang sosial supaya hidupnya berarti. Ketika mengetahui
ketidaksetiaan Tono dan beranggapan bahwa Yah lebih cocok dengan suaminya, Tini
meninggalkan Tono dan pindah ke Surabaya.[3]
Menurut Yoseph Yapi Taum, seorang dosen
di Universitas
Sanata Dharma
di Yogyakarta, sikap tidak acu Tini adalah alasan
utama mengapa Tono menjadi tertarik pada Yah. Gaya hidup Tini, yang tidak
memasuki Tono, membuatnya berasa terasing dan mendorongnya untuk mencari wanita
yang lebih tradisional.[4]
Tham Seong Chee, seorang kritikus dari Singapura, beranggapan bahwa Tini adalah tokoh
yang lemah sebab dia tidak bisa mengambil keputusan tanpa pengaruh luar, dan
sampai kapan pun tidak mau menyelesaikan masalahnya dengan Tono. Dia juga
menyatakan kalau Tini dibatasi oleh nilainya sendiri, yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat Indonesia pada umumnya.[5]
Menurut penyair dan kritikus sastra Goenawan Mohamad, Tini didorong oleh harapan suaminya
akan istri yang tradisional.[6]
Rohayah
Rohayah (juga dikenal dengan nama
samaran Nyonya Eni dan Siti Hayati; disingkat Yah) adalah teman Tono dari Sekolah Rakyat yang kemudian menjadi simpanannya; dia juga seorang
penyanyi keroncong terkemuka. Setelah Tono, yang lebih tua tiga tahun, lulus
dari Sekolah Rakyat, Yah dipaksakan untuk menikah dengan pria yang lebih tua 20
tahun dan dibawa ke Palembang. Setelah melarikan diri, Yah kembali ke Bandung;
akan tetapi, orang tuanya sudah meninggal. Dia kemudian berpindah ke Batavia
dan menjadi seorang pelacur sekaligus penyanyi keroncong dengan nama samaran
Siti Hayati. Ketika mengetahui bahwa Tono telah menjadi dokter di Batavia, dia
menggoda dokter itu. Biarpun mereka saling jatuh cinta, Yah mengambil langkah
untuk pergi sebab dia takut Tono akan diremehkan apabila dia menikah dengan
seorang mantan pelacur. Yah berpindah ke Kaledonia Baru.[7]
Tham beranggapan bahwa Yah sebenarnya
cocok menjadi istri Tono, sebab dia sudi menjadi istri tradisional. Namun, dia
tidak dapat menjalani hubungan tersebut karena dulu menjadi pelacur. Menurut
Tham, hal ini mencerminkan bahwa "moral dan nilai etis tidak mudah
dipahami intelek, akal, atau rasio".[5] Goenawan beranggapan bahwa Yah
sebenarnya seorang fatalis, yang merendahkan diri dengan menyatakan bahwa ada
seribu perempuan di Tanjung Priok yang mempunyai cerita serupa. Dia juga
beranggapan bahwa tokoh tersebut menjadi mengharukan tanpa menjadi berlebihan.
Menurutnya, Yah adalah pelacur pertama yang digambarkan secara simpatetis dalam
suatu karya sastra Indonesia.[6]
Pengaruh
Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra
Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra,
Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia menulis bahwa hal ini paling
menonjol dalam tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang ditulis
sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa"
(1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang Tiada
Berharga" juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan
Haereni, yang digambarkan dengan watak yang mirip Sukartono dan Sumartini,
sementara "Lupa" memperkenalkan tokoh utama Sukartono.[9]
Sebab pemerintah Hindia
Belanda melarang
pembahasan politik dalam sastra, Armijn membatasi sindiran pada sistem kolonial
dalm novel.[10]
Belenggu sering menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing, sehingga kritikus sastra Indonesia berasal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa novel ini adalah "monolog interior bercabang tiga".[11] Berbeda dari karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, yang merupakan penerbit milik negara Hindia Belanda, Belenggu tidak menjelaskan semua aspek cerita; hanya aspek kunci dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri oelh pembaca. Ini membuat pembacaan menjadi lebih aktif.[12]
Berbeda dari penulis novel Balai Pustaka, Armijn tidak menggunakan peribahasa; dia lebih menekankan penggunaan simile. Cara lain yang menunjukkan perbedaan gaya tulis Armijn dengan penulis-penulis Balai Pustaka ialah dengan membatasi penggunaan bahasa Belanda murni; sebelumnya penulis seperti Abdul Muis dan Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan bahasa kolonialis itu untuk menggambarkan sifat tokoh utama yang intelektual. Sementara, dalam Belenggu Armijn menekankan bahasa serapan, sehingga edisi-edisi awal memuat daftar istilah yang berisikan istilah-istilah yang baru atau sulit.[1][13] Siregar menulis bahwa bahasa Armijn lebih mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari.[13]
Analisis
Simbolisme
Menurut
Yapi, judul Belenggu mencerminkan konflik batin yang dihadapi semua tokoh
utama, sehingga mereka terbatas dalam perilaku mereka. Yapi menunjuk pada
klimaks novel sebagai contoh baik akan keterbatasan itu.[14] Menurut Siregar, hal ini didukung oleh
dialog antara Siregar antara Hartono dan Sukartono, di mana mereka beranggapan
bahwa manusia selalu dibelenggu oleh kenangannya akan masa lalu.[15]
Berbeda
dari karya sastra Indonesia di zaman itu, bab-bab Belenggu hanya diberi nomor
bab – karya lain, misalkan Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis menggunakan
nomor dan judul. Menurut Yapi, perbedaan gaya ini mewakili aliran kesadaran
manusia, berbeda dengan cara sebelumnya yang menjadikan setiap bab sebagai
peristiwa yang terpisah.[16]
Tema
Menurut
Teeuw, berbeda dari novel-novel Indonesia pada masa itu, Belenggu tidak
menggunakan tema protagonis yang baik dan suci melawan antagonis yang jahat,
atau konflik dan perbedaan antara generasi.[17] Novel ini juga tidak menggunakan tema kawin paksa dan tidak diterimanya adat oleh pemuda-pemudi.[1] Novel ini malah menggunakan tema cinta segitiga – yang pada saat itu sudah umum
di sastra Barat tapi belum ada di sastra Indonesia – tanpa menunjukkan
siapa yang baik, jahat, benar, atau salah. Dia menulis kalau buku ini
menggambarkan konflik batin sejenis manusia baru, yang dibentuk karena
persatuan budaya Timur dan Barat.[17]
Yapi
mencatat bahwa Belenggu menunjukkan hidup modern dan tradisional sebagai dua
sistem yang berlawanan, yang memperbandingkan hal-hal baru dengan yang lama.
Misalkan, Sukartono, seorang dokter (simbol hidup modern), selalu berpikir
tentang masa lalu, Yah, dan lebih suka musik tradisional daripada yang modern.
Lewat kontras Sukartono dan istrinya Tini yang sangat modern itu, Armijn
menekankan bahwa kehidupan modern belum tentu membuat orang bahagia. Menurut
Yapi, Belenggu mungkin dipengaruhi atau bahkan ditulis sebagai tanggapan atas Layar Terkembang (1936), karya Sutan
Takdir Alisjahbana,
yang juga mempunyai tema ini tetapi lebih pro-modern.[18]
Clive
Christie, seorang dosen di School of Oriental and African Studies di London, mencatat bahwa Belenggu
juga mewujudkan rasa terasingkan yang kuat. Dia menulis bahwa para tokoh
menjadi seperti anggota "masyarakat yang berada dalam vakum", tanpa
hubungan yang jelas dengan kolonialisme tetapi juga tanpa pengertian yang jelas
akan nilai-nilai tradisional. Christie menjelaskan hubungan Tono dengan Yah
sebagai simbol atas orang-orang intelektual yang berusaha berinteraksi dengan
masyarakat luas melalui budaya populer, tetapi akhirnya tidak berhasil.[10]
Penerbitan pertama
Belenggu
diserahkan kepada Balai Pustaka pada tahun 1938 untuk diterbitkan, tetapi tidak
diterima sebab dianggap berlawanan dengan moral umum;[19] hal ini disebabkan penggambaran
perselingkuhan sebagai hal yang umum, bahkan menjadi bagian penting dalam alur.
Akhirnya novel ini diterbitkan oleh majalah Poedjangga Baroe, yang Armijn telah bantu mendirikan
pada tahun 1933, dan diterbitkan dalam bentuk serial dari bulan April sampai
Juni 1940.[17][19] Belenggu adalah satu-satunya novel
yang diterbitkan majalah sastra itu,[19] dan merupakan novel psikologis
Indonesia pertama.[20]
Pada
tahun 1965, Belenggu diterjemahkan ke bahasa Malaysia. Sampai pada tahun 1988, novel ini
sudah terjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dan, pada tahun 1989, diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn dengan judul Shackles, lalu diterbitkan Yayasan Lontar.[21]
Penerimaan
Ketika
Belenggu diterbitkan, ada dua jenis reaksi utama. Orang-orang yang suka novel
ini menyatakan bahwa Belenggu sangat berani, sebab dia mampu membahas tema yang
berdasarkan kenyataan sosial.[22]
Misalkan, jurnalis S.
K. Trimurti
menulis bahwa buku ini benar-benar mencerminkan permasalahan yang dihadapi
orang Indonesia berpendidikan tinggi saat menghadapi kebudayaan tradisional.[23] Sementara, orang-orang yang tidak suka
Belenggu meremehkannya sebagai novel yang "porno", sebab ada tekanan
pada perilaku tabu seperti perselingkuhan dan prostitusi.[22] Menurut Teeuw, resepsi ini dipengaruhi
oleh sifat pembaca Indonesia, yang terbiasa membaca karya sastra yang
diidealkan, menjadi syok atas kenyataan yang dicerminkan dalam Belenggu.[24]
Kritik-kritik
yang lebih mutakhir cendurung lebih positif. H.B. Jassin menulis pada tahun 1967 bahwa, biarpun
tokoh-tokoh bertindak sebagai karikatur, Belenggu mampu membuat pembaca
termenung atas kenyataan sosial modern.[25]
Pada tahun 1969 novel ini diberi penghargaan dari pemerintah Indonesia;[26] pada tahun yang sama, penulis dan
kritikus sastra Ajip
Rosidi menulis bahwa buku
ini lebih menarik daripada karya-karya sebelumnya karena penyelesaiannya
bersifat multi-tafsir.[25]
Menurut
penyair dan kritikus sastra Muhammad Balfas, yang menulis pada tahun 1976,
Belenggu adalah "novel Indonesia terbaik dari sebelum perang kemerdekaan".[1]
Dalam bukunya tentang sejarah sastra Indonesia yang terbit pada tahun 1980,
Teeuw menulis bahwa, biarpun ada kekurangan dalam penggambaran psikologis
tokoh-tokoh utama, Belenggu adalah satu-satunya novel Indonesia dari sebelum Perang
Kemerdekaan
yang benar-benar menarik untuk pembaca dari Barat.[24] Tham menulis pada tahun 1981 bahwa
novel ini adalah cermin terbaik akan timbulnya kesadaran dalam masyarakat
Indonesia bahwa nilai-nilai Barat bertentangan dengan nilai-nilai Timur.[27]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar